Pengertian
Motivasi
Motivasi berasal dari kata movere
yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam
manajemen hanya ditujukan pada sumber daya manusia umumnya dan bawahan
khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya dan
potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan
mewujudkan tujuan yang telah ditentukan.
Pengertian
motivasi menurut para ahli:
o Menurut Malayu S.P. Hasibuan
(2005:143)
Motivasi adalah pemberian daya
penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja
sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk
mencapai kepuasan.
o Menurut Anwar Prabu
Mangkunegara (2007:93)
Motivasi adalah kondisi yang
menggerakan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifnya.
o Menurut Marihot Tua Efendi
Hariandja (2002:321)
Motivasi adalah faktor-faktor
yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang.
o Menurut T. Hani Handoko
(2003:252)
Motivasi adalah keadaan
dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.
Jenis-Jenis
Motivasi
Menurut
Sardiman (2005:89-91), motivasi dibedakan atas 2 jenis yaitu:
1. Motivasi
intrinsik
Motivasi
intrinsik adalah motif-motif (daya penggerak) yang menjadi aktif dan
berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dari diri individu sudah
terdapat dorongan untuk melakukan sesuatu.
2. Motivasi
ekstrinsik
Motivasi
ekstrinsik adalah dorongan yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu
itu bersumber pada suatu kebutuhan yang harus dipenuhi.
Model-Model
Motivasi
1.
Model Tradisional
Model tradisional ini
digunakan untuk memberikan dorongan kepada karyawan agar melakukan tugas mereka
dengan berhasil, para menajer menggunkan sistem upah insentif, semakin banyak
mereka menghasilkan atau mencapai hasil kerja yang sempurna, semakin besar penghasilan
mereka.
2.
Model Hubungan Manusiawi
Model hubungan tradisional
yaitu para manajer dianjurkan untuk bisa memotivasi para karyawan dengan
mengakui kebutuhan sosial mereka dan dengan membuat mereka merasa penting dan
berguna, sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerjanya. Para karyawan diberi
lebih banyak waktu kebebasan untuk mengambil keputusan dalam menjalankan
pekerjaannya.
3.
Model Sumber Daya Manusia
Model Sumber Daya Manusia yaitu karyawan mempunyai
motivasi yang sangat beraneka ragam, bukan hanya motivasi karena uang ataupn
keinginan akan kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk berprestasi dan mempunyai
arti dalam bekerja. Tugas manajer dalam model ini, bukanlah menyuap para
karyawan dengan upah atau uang saja tetapi juga untuk mengembangkan rasa
tanggung jawab bersama dalam mencapai tujuan organisasi dan anggotanya, dimana
setiap karyawan menyumbangkan sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya
masing-masing.
Teori-Teori
Motivasi
1.
Teori Abraham H. Maslow
(Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan
oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia
mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan
fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan
sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata,
akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih
sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada
umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri
(self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi
kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang
disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai
kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi
kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia
itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang
unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan
tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat
bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam
kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan
dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama
diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow.
Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi
berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai
dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep
tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak
akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan-
sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi;
yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman,
demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang
berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan
bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman
menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara
simultan. Artinya, sambil memuaskan
kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman,
merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan
sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu
ditekankan bahwa :
o
Kebutuhan yang satu saat
sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
o
Pemuasaan berbagai kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif
menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya. Berbagai kebutuhan tersebut
tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana
seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
o
Kendati pemikiran Maslow
tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah
memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang
berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2.
Teori McClelland (Teori
Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal
tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement
(N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan
kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi
merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan
sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau
mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal
tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku.
Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak
untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.
Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.
”Menurut McClelland
karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri
umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat
kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul
karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti
kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan
kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3.
Teori Clyton Alderfer
(Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal
dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf
pertama dari tiga istilah yaitu : E= Existence (kebutuhan akan eksistensi), R=
Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G= Growth
(kebutuhan akan pertumbuhan). Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan
tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori
atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat
dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “
Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep
Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut
Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia
itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak
lebih lanjut akan tampak bahwa :
o
Makin tidak terpenuhinya
suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
o
Kuatnya keinginan memuaskan
kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah
telah dipuaskan;
o
Sebaliknya, semakin sulit
memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk
memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
o
Tampaknya pandangan ini
didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari
keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang
dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang
mungkin dicapainya.
4.
Teori Herzberg (Teori Dua
Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui
telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori
yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu
faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang
dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang
sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang
dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang
sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan
perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang
tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang,
keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan
pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan
mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang
individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya,
teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi,
sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang
berlaku.
Salah satu tantangan dalam
memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat
faktor mana yang lebihberpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang
bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5.
Teori Keadilan
Inti teori ini terletak
pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara
usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima.
Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang
diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang
menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi
tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding,
yaitu :
o
Harapannya tentang jumlah
imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat
pekerjaan dan pengalamannya;
o
Imbalan yang diterima oleh
orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif
sama dengan yang bersangkutan sendiri
o
Imbalan yang diterima oleh
pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan
sejenis;
o
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang
merupakan hak para pegawai. Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan
ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu
waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan
para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif
bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering
terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat
kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan
perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6.
Teori penetapan tujuan
(goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan
bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni
:
(a) tujuan-tujuan
mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan
meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan
rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif
tentang penetapan tujuan.
7.
Teori Victor H. Vroom
(Teori Harapan)
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang
berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya
sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu
hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan
bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya,
apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka
untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang
sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan
sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan
akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya,
jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk
berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan
para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya
tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian
membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta
menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu.
Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai
tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk
memperolehnya.
8.
Teori Penguatan dan
Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model
motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif
motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang
yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan
oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan
organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula
oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya,
dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan
pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah
apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia
cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang
menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang
mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat
sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik
dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian
tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut
menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja
lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan
keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga
kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai
konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali
mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi
indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi
negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu
datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan
bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap
memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan
dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9.
Teori Kaitan Imbalan dengan
Prestasi
Bertitik tolak dari
pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus
berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah
apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Menurut model ini, motivasi
seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah :
(a) persepsi seseorang
mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e)
keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan. Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah :
(a) jenis dan sifat
pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat
bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku
dan cara penerapannya.
Sumber :